Jika membahas soal wilayah
negerinya, orang Indonesia selalu tampil nasionalis, fanatik nasionalis bahkan.
Timor Timur dulu dihalangi-halangi keluar dari NKRI. Sementara kepada Aceh dan
Papua yang juga ingin cabut dari NKRI dihentakkan yel-yel "NKRI Harga
Mati." Tapi dalam soal bahasa, orang Indonesia ternyata dengan rakus
mencampurkan bahasa asing ke dalam bahasanya sendiri, sampai-sampai muncul
istilah indoglish, bahasa Indonesia yang dicampuraduk dengan bahasa Inggris.
Bagaimana nasionalisme bahasa bisa begitu rendah di kalangan orang Indonesia?
Berikut penjelasan R. Kunjana Rahardi, konsultan bahasa Indonesia di
Yogyakarta.
Seperti yang dikatakan oleh
Budayawan kita R. Kunjana Rahardi [RKR]: Budaya kita ini kan budaya yang
suka gumunan, suka terpesona kepada barangnya orang lain, pada
bahasanya orang lain. Semangat untuk menggunakan bahasa sendiri, menggunakan
bahasa-bahasa yang lokal, itu hampir tidak muncul.
Namun kepada tidak pada hal
wilayah teritorial? Saya pikir itu adalah hal yang tidak dapat dipadupadankan,
kedua hal tersebut sangat berbeda. Kenapa hal itu berbeda padahal semuanya kan
keIndonesiaan?
Ya, itu benar. Tetapi ini
semua kan masalah komunikasi. Masalah peranti komunikasi saja sebenarnya. Jadi
kita ini untuk peranti-peranti komunikasi ini betul-betul tidak mempunyai standpoint yang
sangat kuat. Juga dalam hal ekonomilah. Bagaimana kita sangat tergiur oleh
barang-barang yang datang dari asing. Kalau dipikir-pikir hal tersebut
manusiawi sekali.
Sama dengan bahasa ini
sebenarnya. Bagaimana kita suka tergiur dengan kata-kata yang berasal dari
asing, sedangkan ada kata dalam bahasa Indonesia yang sudah dibakukan. Itu saya
kira terpisah dengan masalah teritorial. Kalau masalah itu memang saya kira itu
masalah wilayah, masalah hidup-mati. Kalau bahasa ini bukan masalah hidup-mati.
Ini masalah komunikasi saja sebenarnya.
Kalau boleh saya mengangkat
pendapat Profesor Benedict Anderson, yang mengamati
Indonesia juga dari segi bahasa, selain dari segi politik, dalam salah satu
esei terakhir tentang Soeharto, eseinya dalam bahasa Inggris, dia menyebut apa
yang dikatakannya sebagai historical lobotomy. Artinya kehampaan sejarah,
yang dialami oleh Indonesia selama Orde Baru, dan kemudian sesudah Orde Baru sekarang.
Kemudian muncul pertanyaan apakah karena orang Indonesia ini dibuat oleh Orde
Baru tidak kenal lagi sejarahnya, pangling kepada sejarahnya sendiri, maka
mereka lebih tertarik pada hal-hal yang asing-asing itu?
Iya, betul sekali, dan juga
pendekatan yang dimunculkan ketika Orde Baru itu kan top-down kan.
Demikian pula dalam bidang bahasa. Kenapa kata-kata yang dikodifikasi oleh
Pusat Bahasa, tidak dengan mudah diterima oleh masyarakat? Karena itu top-down.
Para ahli di Pusat Bahasa itu berkumpul lalu mendaftar kata-kata, kemudian
diberikan kepada masyarakat. Bagaimana mereka mau memakai itu?
Harusnya kan mereka
meneliti dari masyarakat apa yang digunakan di masyarakat, dikodifikasi,
kemudian dibawa ke Jakarta sana, Pusat Bahasa Jakarta sana, kemudian disosialisasikan
lagi ke daerah. Kan begitu. Itu salah satu kelemahan kenapa kata-kata Indonesia
yang muncul sekarang ini banyak yang tidak diterima oleh masyarakat pemakai
bahasa Indonesia. Karena top-down yang mereka terapkan. Itu
saya pikir poin penting yang harus dikatakan (saya pikir ;) ).
Kalau boleh saya juga
mungkin sedikit berpendapat nakal. Karena kan pendekatan atas-bawah itu pas
dengan corak kekuasaan Orde Baru yang menyeragamkan semua, termasuk
menyeragamkan bahasa, dengan demikian bisa menyeragamkan pikiran orang kan. Itu
ciri khas kekuasaan mutlak di mana-mana. Di Italia jaman kekuasaan fasis
Mussolini itu juga begitu. Jadi banyak kata-kata bahasa Italia yang bagus, yang
indah-indah dibuang semua.
Betul. Persis. Dan itu
membuat bahasa kita sebenarnya mandul sampai sekarang ini. Jadi banyak sekali
kata-kata yang dikodifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita, yang tidak
diterima oleh masyarakat Indonesia. Kata Indonesia, kata sanggal dan mangkus.
Diterima nggak itu?
Pasti tidak diterima itu.
Sanggal dan mangkus itu terjemahan dari efektif dan efisien dalam bahasa
Inggris. Tetapi kata itu hampir tidak pernah dikatakan oleh orang Indonesia
sendiri, karena pengkodifikasinya tidak pernah meneliti di masyarakat.
Seharusnya kata yang digunakan di masyarakat itu, dikodifikasi. Kemudian dibawa
ke Jakarta, dibuat buku dan sebagainya, disosialisikan lagi kepada masyarakat.
Seperti kata selebriti
menurut Pusat Bahasa, yang benar adalah selebritas. Tapi sebenarnya yang ada di
masyarakat, adalah selebriti. Yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia, itu
selebriti juga. Tapi kenapa kita harus menggunakan selebritas. Kata mereka,
karena kita harus beranalogi dengan identity menjadi
identitas. Bukankah bahasa tidak selalu beranalogi dengan hal yang semacam
begitu. Jadi apa yang ada pada masyarakat ini, silakan dikodifikasi, kemudian
serahkan kembali pada masyarakat. Dan itu akan digunakan.
Seperti menurut Pak
Kunjana kalau begitu bagaimana kita bisa membebaskan Pusat Bahasa ini
dari corak kekuasaan Orde Baru? Maka dapat disimpulkan bahwa Pusat Bahasa
harus segera bekerja sama denganresearcher bahasa, para linguis, termasuk
saya sebenarnya. Supaya apa yang mereka teliti di masyarakat, itu kemudian
diterima oleh Pusat Bahasa, kemudian disampaikan kepada masyarakat.
Bukan begitu bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar